SUARA GARDA ACEH TAMIANG
Aceh memiliki peran penting dalam sejarah awal berdirinya PT Pertamina. Pada tahun 1883, ditemukan sumur minyak di Telaga Said Langkat, yang kemudian menjadi salah satu sumber minyak utama bagi pemerintah Hindia Belanda.
Perusahaan-perusahaan perminyakan seperti Koninklijke Nederlandsche Maatschappij tot Explotatie van Petroeleum in Nedelandsch Indie dan Batafsche Petroleum Maatschappij (BPM) yang beroperasi di Aceh Timur dan Langkat, menghasilkan minyak dalam jumlah besar.
Setelah kemerdekaan Indonesia, tokoh Aceh Jenderal Mayor TNI AD Tgk. Amir Husin Al-Mujahid berperan penting dalam mempertahankan aset perusahaan tambang minyak Belanda di Aceh Timur dan Langkat agar tidak diambil kembali oleh Belanda (BPM). Berkat ketegasan dan jasanya, aset tersebut menjadi milik daerah Aceh (NKRI) dan kemudian oleh pemerintah pusat menjadi awal dari terbentuknya PT. Pertamina.
Namun, peran dan jasa Aceh dalam sejarah awal Pertamina yang sebelumnya Tambang Minyak Sumatera Utara (TMSU-PERMIRI-PERMINA) ini telah dilupakan, nama-nama seperti Tgk. Amir Husin Al-Mujahid beserta sahabat seperjuangannya, terlupakan dalam narasi sejarah awal terbentuknya perusahaan ini.
BUJUK RAYU BPM SEBAGAI UPAYA PENGEMBALIAN ASSET
Setelah perundingan Konprensi Meja Bundar (KMB) tahun 1947 di Den Haag Belanda, oleh pemerintah pusat tentang pengelolaan migas diserahkan sepenuhnya kepada Pemerintah propinsi masing-masing, termasuk Aceh.
Hampir semua propinsi yang memiliki sumber daya alam Migas, dengan bujuk rayu BPM mengembalikan assetnya. Namun, asset BPM yang berada di Aceh dan Langkat tidak dikembalikan melalui proses perundingan yang alot.
Perundingan antara TMSU dengan BPM dalam rangka rencana agar assets tersebut kembali kepada mereka, dimulai dari Langsa sebagai kantor pusat TMSU.
Perundingan berjalan estafet, mulai dari Langsa – Pangkalan Brandan – Plaju – Palembang, hingga berakhir di Jakarta. Namun delegasi TMSU pada perundingan itu tetap berpendirian bahwa assets TMSU adalah hak milik Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang Diproklamirkan oleh Soekarno-Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945.
Delegasi TMSU langsung di Ketuai oleh Pemimpin Umum TMSU, Mayor Jenderal TNI AD Tgk. Amir Husin Al-Mujahid, yang beranggotakan:
1. ABDURRAHMAN
2. DJOHAN
3. Ir. INDRA TJAJA
4. ABDULLAH ARIEF
5. OESMAN PEUDADA, dan
6. HASSAN ABBAS
Dari pihak Belanda (BPM) diwakili oleh:
1. W.JJ.A.VAN DEN BOSCH
2. H. R. M. HARTKAMP
3. Ir. De LAIVE
4. KRT. NOTONEGORO, dan
5. Ir. SCHOLTENS
Perundingan terakhir di Jakarta dihadiri oleh pihak Kementerian Kemakmuran Republik Indonesia Serikat (RIS) :
1. Ir. DJUANDA
2. Ir. SOEMODIWIRJO
3. R. SEDIONO
4. R. A. ASMAOEN
5. R. SUNU, dan
6. Ir. T. ISMAIL THAYEB
Walaupun ketujuh orang juru runding dari pihak TMSU ini dijanjikan oleh petinggi pusat BPM dengan jabatan, gaji dan fasilitas yang sangat menggiurkan, secara diplomasi dijawab oleh Amir Husin Al-Mujahid, “Tuan-Tuan tidak perlu membujuk kami tujuh orang ini. Kami disini adalah wakil dari seratus tiga puluh delapan juta jiwa rakyat Indonesia”, (jumlah penduduk Indonesia tahun 1948-red).
Setelah perundingan yang berjalan estafet dan alot, maka sejak saat itu TMSU sah menjadi milik Negara Kesatuan Republik Indonesia yang menjadi cikal bakal PERMIRI, PERMINA, dan PT. PERTAMINA sebagaimana yang kita saksikan saat ini.[m.rotuah]
Sumber: Amir Hasan Nazri Al Mujahid, SH. Salah seorang putera kandung dari Mayor Jenderal TNI AD Amir Husin Al-Mujahid.
Keterangan Foto: Usai perundingan di Jakarta, Mayor Jenderal TNI AD Tgk. Amir Husin Al-Mujahid melakukan kunjungan silaturahmi menemui Sri Sultan Hamengkubuwono IX Raja Yogyakarta, tepatnya berlokasi di Gedung Agung.